Mutlaknya Takdir


Seseorang mungkin telah merencakan segala sesuatu dalam hidupnya. Usia 25 tahun sudah menikah. Usia 30 tahun, memiliki anak. Usia 40 tahun, sukses mengelola kerajaan bisnis. Lalu suia 50 tahun, berhaji. Rencana yang rinci memang berguna untuk membuat kita lebih fokus. Setidaknya, kita akan memilih bersetia dengan garis besar rencana daripada harus menambah rencana-rencana baru di tengah  perjalanan hidup. Namun, ketika harus, menyadari bahwa takdir Allah berbeda dengan rencana kita.
 Tidak akan ada rencana yang 100% dapat berjalan dengan mulus di dunia ini. Pasti ada saatnya kita patah, dan hal buruk mengganggu target semula. Logikanya, dengan gaji yan didapatkan saat ini, dua tahun lagi kita sudah bisa membeli rumah. Di tengah jalan, ada saudara yang membutuhkan bantuan karena terlilit utang begitu besar. Habislah tabungan kita demi membantunya. Logikanya, dengan belajar dengan tekun, setiap hari membaca literatur di perpustakan, berdiskusi dengan banyak dosen dan peneliti, skripsi atau tesis, kita akan memperoleh nilai maksimal. Namun, kesalahan menggunakan teori, bisa membuat karya tulis tersebut hancur. Siapa yang bisa disalahkan dalam hal ini? Ketidakmampuan kita dalam menangani keadaan atau ada faktor lain?

Barangkali, ketika ditimpa kegagalan, kita akan mengeluh dan menyalahkan Tuhan yang memberi ujian yang seolah terlalu berat dipikul. Mungkin pula, kita akan penasaran dan mencari-cari dimanakah hikmah tersembunyi di balik kegagalan tersebut.
Mulai sekarang, berhentilah untuk bersikap seperti di atas. Untuk apa mempertanyakan ujian Allah. Sekeras apapun teriakan kita, takdir tidak akan berubah dengan sendirinya. Untuk apa mencari hikmah terus-menerus yang hanya melelahkan diri? Mencari hikmah seolah merupakan upaya kita mencari pembenaran atas tindakan yang sudah terlanjur diperbuat.
Bersikap diam baik jauh lebih baik. Sadarilah bahwa selama ini kita lebih sering terlarut dalam imajinasi berlebihan. Belum apa-apa, sudah menargetkan ini dan itu. Masih terlalu dini, kita sudah berani menjamin akan mendapatkan keadaan yang lebih baik. Buatlah rencana  ala kadarnya. Jalani hidup seperti air mengalir. Kita memang layak untuk berusaha. Namun, bukan berarti kita layak menuntut hasil usaha kita secepat kilat. Biarlah hasil tersebut menjadi rahasia Allah. Susah dan senang dalam menunggu hasil itu, anggap saja sebagai bumbu hidup di dunia yang serba palsu ini.

Referensi: Fitra Firdaus Aden. 2012. Mutiara Pilihan Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandary. Yogyakarta: Citra Risalah.
Anak Asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Semester 4
Bagus Setyo Nugroho


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adab Ketika Menerima Tamu

Manfaat Menyendiri

Haramnya Serakah Dalam Beribadah