Hal yang Membuat Amal Sia-sia
الاعمال صور قا ئمة وأروا حها وجو د سر الاء
خلاص فيها
“Amal perbuatan adalah
kerangka. Ruh yang membuatnya hidup adalah keikhlasan yang mewujud secara
tersembunyi dalm amalan tersebut.”
Semua amal perbuatan hendaknya disesuaikan dengan hukum
Allah swt. Kita mengikuti perintah shalat, zakat, puasa, dan lainnya demi
semata-mata untuk mengingat Allah. Kita tidak melakukan hal-hal yang dilarang
oleh agama juga, demi membuat konsentrasi terhadap Allah tidak berkurang. Namun,
amalan-amalan ini hanyalah kerangka, hanyalah tubuh yang mati. Amalan-amalan
ini tidak akan berarti tanpa keikhlasan. Rasa ikhlas ini berfungsi sebagai ruh,
yang menggerakkan jiwa dan tubuh untuk menjalani hidup yang sesungguhnya, yang
memmbuat amalan-amalan itu berarti.
Lihatlah dalam kehidupan sehari-hari. Berapa banyak orang
yang sudah beribadah, namun tidak mendapatkan apa pun dari ibadah tadi.
Jawabannya sangat banyak sekali tentunya. Contohnya, shalat lima waktu
dilakukan tapi korupsi tetap berjalan. Zakat diperbanyak, namun rasa memiliki
harta nomor satu. Puasa wajib sudah ditambah dengan puasa sunnah, tapi tidak
bisa mengontrol emosi ketika amarah ataupun tersakiti. Orang yang berperilaku
seperti ini menandakan bahwa ia tidak pernah memahami ibadah. Baginya, ibadah
hanyalah ritual yang harus dilakukan tanpa konsekuensi apapun, ia beribadah
karena keluarga dan orang-orang sekitarnya melakukan hal serupa. Ia bagaikan
robot yang bergerak tanpa perasaan, tidak mengetahui bahwa dalam segala sesuatu
selalu ada rahasia tersembunyi.
Di balik shalat, ada tujuan untuk mengingat Allah dalam
setiap tarikan nafas kita. Bagaimana mungkin seseorang yang yang mengingat
Allah bisa melakukan korupsi? Di balik ibadah zakat, ada ajaran bahwa semua
yang seolah-olah milik kita, ternyata tetap saja merupakan hak orang lain.
Bagaimana mungkin orang yang sudah berzakat, masih bisa mengklaim uang seratus
rupiah sekalipun? Dibalik ibadah puasa, ada tujuan untuk mengendalikan hati
yang mudah terombang-ambing. Kita tidak mungkin begitu suci di dunia ini. Tidak
boleh marah, tidak berhak menangis, atau tidak layak bahagia. Namun, hendaklah
kita dapat mengontrol perasaan-perasaan tersebut. Marahlah ketika harus marah.
Tapi, jangan membuat seluruh dunia tertimpa kemarahan kita. Menangislah ketika
harus menangis. Tapi, jangan menangis hanya untuk mendapatkan perhatian atau
belas kasihan orang lain. Bahagialah ketika mendapatkan kenyamanan. Namun,
jangan sampai ketika berbahagia, kita lupa ada orang lain yang menangis disebelah
kita. Jika kita masih labil mengontrol emosi, apa bedanya dengan remaja yang
disebut alay? Kalau tidak bisa menyalurkan emosi, pa bedanya kita mendengar
para pemabuk yang berceloteh seenaknya?
Contoh-contoh tadi menunjukkan adanya efek tersendiri
dari ibadah, yaitu membawa seseorang menuju pada kepribadian yang lebih baik,
membuat kita menjadi sosok yang bijaksana dan mudah menerima segala hal. Efek
ini tidak muncul begitu saja, tetapi karena perilaku ibadahyang konsisten
bertahun-tahun. Efek ini tidak tercipta secara sengaja, namun murni dari
seberapa jauhseseorang mampu mendapatkan pencerahan dari Allah. Jika sudah
lebih dari dua puluh tahun kita beribadah dan tidak ada tanda-tanda kesantunan
bersikap dan ketulusan mengabdi kepada Allah, kita tentu perlu mengoreksi niat
dan cara beribadah. Sudahkah kita beramal hanya karena Allh? Jangan-jangan,
kita beribadah karena takut berbeda dari orang lain, atau karena mengira dengan
ibadah akan mendapatkan surga. Percayalah, jika alsan ini yang melekat dalam
hati dan pikiran, selamanya kita tidak akan mungkin mendapatkan ruh keikhlasan
dari amal perbuatan.
Referensi: Fitra Firdaus Aden. 2012. Mutiara Pilihan
Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandary. Yogyakarta: Citra Risalah.
Anak Asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Semester 4
Bagus Setyo Nugroho
Komentar
Posting Komentar