Haramnya Serakah Dalam Beribadah
Banyak orang percaya segala sesuatu harus dicapai dengan
usaha dan doa. Kita mesti bekerja keras terlebih dahulu sebelum akhirnya pasrah
dalam memohon kepada Allah. Jika kita benar-benar hendak mendekatkan diri
kepada Allah, hal ini justru keliru. Cobalah merenungkan kisah berikut:
Ada beberapa murid sufi yang begitu haus mengejar berkah
malam Lailatul Qadar. Karena terlalu bersemangat, mereka meremehkan perintah
gurunya untuk tidur pada malam ke-24 Ramadhan. Selepas Syawal, sang guru
menegur para muridnya. Mereka telah melanggar perintah sepele hanya demi
mengejar pahala.
Semua orang boleh saja berupaya maksimal untuk
mendapatkan sesuatu. Namun, kita harus cerdas membedakan antara keinginan dan
kebutuhan. Keinginan didatangkan dari perasaan tidak puas terhadap keadaan saat
ini. Sementara kebutuhan didatangkan dari logika bahwa ada hal yang kurang
dalam keadaan hidup kita saat ini. Contohnya, memiliki handphone adalah kebutuhan
untuk pekerjaan atau kuliah. Namun, memiliki handphone hanya untuk sekedar
memilikinya atau hanya untuk bergaya saja, berarti ia tunduk pada keinginan.
Bila urusan dunia, kita mungkin masih bisa membedakan
antara keiginan dan kebutuhan. Tapi, bagaimana kalau berkaitan dengan hal
ibadah kepada Allah? Sangat sulit membedakannya, apakah ibadah kita tulus, atau
hanya karena ingin mendapatkan pahala berlimpah. Dalam kisah para murid sufi
tadi, mereka mengejar berkah Lailatul Qadar karena keinginan bukan kebutuhan. Mereka
melanggar perintah gurunya demi memuskan ambisi pribadi.
Banyak ibadah kita kepada Allah yang seolah-olah benar,
tetapi ternyata salah karena kita tidak mampu membedakan antara keinginan jiwa
dan kebutuhan ruh. Lalu, bagaimanakah cara mengenalinya? Tengoklah sikap kita.
Apakah dalam mejalankan ibadah tersebut, kita egois dan selalu mementingkan
keberhasilan kuantitas? Apakah kita terbiasa memberi target, sehari minimal
selesai membaca 10 juz Al-Qur’an, hanya demi memuaskan perasaan? Apakah dalam membaca Al-Quran kita terbiasa
mengebut dan tidak berusaha memahami maknanya karena diburu waktu? Semestinya
kita menyadari, semua imbalan tidak pernah berarti dibanding Sang Pemberi
Imbalan. Apalah arti mengejar pahala jika cara kita berusaha dibenci oleh
Allah? Apalah artiberusaha keras mencapai keselamatan hidup, kalau kita justru
menabrak rambu-rambu agama? Semakin sering kita berburu pahala dan kebahagiaan
hidup, semakin bingung pula kita membedakan antara keinginan dan kebutuhan.
Semakin sering kita berpuas diri atas pencapaian yang diperoleh, baik tentang
urusan duniawi maupun kualitas spiritual, maka waspadalah karena semakin besar pula peluang hati
menjadi mati.
Referensi: Fitra Firdaus Aden. 2012. Mutiara Pilihan
Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandary. Yogyakarta: Citra Risalah.
Anak Asuh Yayasan Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Semester 4
Bagus Setyo Nugroho
Komentar
Posting Komentar