Bahaya Nafsu Duniawi
Tenangkan jiwamu dari tabir. Semua yang sudah diatur oleh
selainmu (yaitu Allah) tentang hidup, tak perlu kauampuri tangan.
Kita
sering menganggap bahwa pada diri manusia cuman terdapat dua hal: tubuh dan
jiwa. Kita pun sering menyamakan jiwa dengan ruh. Alhasil, pengertian jiwa dan
ruh pun terampur aduk. Padahal, jiwa dan ruh adalah dua hal yang berbeda. Ruh
manusia diciptakan melalui tiupan ruh Allah. Karena dekat dengan ruh Allah
inilah, ruh kita pada hakikatnya sangat patuh terhadap semua perintah-Nya.
Sementara
itu, jiwa kita diambilkan Allah dari bagian ruh. Karena jika jauh dari ruh Allah,
jiwa kita lebih ccondong dan menyenangi hal-hal keduniawian. Jiwa dapat
diibaratkan sebagai istri. Meskipun ia menintai suaminya, istri sering
membantah dan bertindak menyalahi aturan sang suami. Demikianlah kebiasaan
jiwa. Oleh karenanya, tugas ruh “sang suami” adalah engatur agar jiwa tidak
berkuasa lebih dominan dalam mengatur keseluruhan diri.
Coba
bandingkan dengan rumah tangga. Istri yang lebih dominan akan membuat hubungan
tidak harmonis. Suami yang memiliki ego lebih tinggi akan merasa “daerah”
kekuasaannya tergangu. Akibatnya, sering terjadi pertengkaran. Sebaliknya, jika
sang suami memiliki jiwa kepemimpinan, istri akan menyerahkan hidup sepenuhnya.
Analogi ringkas ini bisa menngambarkan keadaan diri kita. Jika ruh lebih
berkuasa, kita akan lebih patuh kepada Allah. Jika jiwa yang lebih dominan,
manusia akan cenderung lalai dan terjerembab pada kepentingan dunia.
Kita
mesti mengendalikan jiwa yang suka membantah perintah Allah ini dari tadbir.
Yang dimaksud tadbir disini adalah segala macam urusan dunia yang diupayakan
oleh manusia. Jiwa cenderung akan menghindari sesuatu yang dibencinya dan
mendatangi sesuatu yang menyenangkan. Akibatnya, jika jiwa dominan, kita akan
terlalu sering merencanakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ironisnya, yang
disebut baik adalah hal yang menyenangkan dan hal yang buruk adalah hal yang
mengecewakan. Padahal baik buruknya sesuatu tidak bisa diukur dari suka atau
tidaknya seseorang terhadapnya.
Alih-alih
memusingkan diri, membiarkan jiwa berkuasa dengan mengatur ini dan itu, lebih
baik kita berserah diri. Biarkanlah diri ini tunduk patuh kepada Allah tanpa
pengharapan apapun. Sekilas hal ini sulit dialkukan. Bagaimana mungkin masa
depan didapatkan jika kita tidak mengaturnya? Dalam hal ini, cobalah kita
membalikkan pertanyaan. Untuk apa mengatur sesuatu yang sudah pasti hakikatnya?
Berencana ini dan itu dengan berlebihan ibarat membuang waktu karena Allah
sudah mempersiapkan segalanya untuk kita. Percayalah, Allah mencintai seluruh
umat-Nya. Bagaimana mungkin orang yang
menekan jiwanya dan mengutamakan ruhnya, yang berarti berusaha mendekatkan diri
kepada Allah akan dicelakakan-Nya? [ ]
Referensi: Fitra Firdaus
Aden. 2012. Mutiara Pilihan Kitab Al-Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandary.
Yogyakarta: Citra Risalah.
Anak Asuh Yayasan
Kemaslahatan Umat Yogyakarta
Mahasiswa Institut Agama
Islam Negeri Salatiga
Semester 4
Bagus Setyo Nugroho
Komentar
Posting Komentar